, Jakarta – Kecerdasan buatan(AI) semakin menjadi pilihan utama bagi masyarakat saat ini. Bukan hanya untuk mencari informasi mengenai isu terkini, tetapi beberapa orang juga memanfaatkan AI sebagai sumber konsultasi.kesehatansoal berbagai jenis penyakit. Kepala Kelompok Staf Medik Hematologi Onkologi Medik RS Kanker Dharmais, Hilman Tadjoedin mengingatkan bahwa sebaiknya pasien tidak sepenuhnya mempercayai AI dalam hal kesehatan. Jangan pula menjadikan AI sebagai patokan mutlak dalam diagnosis penyakit apa pun.
Hilman menekankan bahwa konsultasi dengan dokter tetap penting setelah memperoleh informasi awal dari AI. “AI mungkin mengatakan seorang pasien menderita anemia parah, padahal setelah diperiksa ternyata hasilnya berbeda. Oleh karena itu, apa yang diungkapkan oleh AI perlu diperjelas dan disempurnakan oleh dokter. Kita tidak pernah mengobati pasien hanya berdasarkan AI,” ujarnya dalam acara ROICAM 2025 dengan topik Strategi Efektif Menghadapi Kanker: Membangun Sinergi Antara Tenaga Kesehatan dan Stakeholders pada akhir September 2025. Hilman menegaskan bahwa konsultasi medis tetap wajib dilakukan setelah mendapatkan data awal dari AI. “AI bisa saja menyatakan bahwa seseorang menderita anemia berat, padahal setelah diperiksa ternyata hasilnya berbeda. Jadi, apa yang disampaikan AI harus dikaji ulang dan diperbaiki oleh dokter. Kita tidak pernah melakukan pengobatan hanya berdasarkan AI,” katanya dalam acara ROICAM 2025 dengan tema Strategi Efektif Melawan Kanker: Membangun Kolaborasi antara Tenaga Kesehatan dan Pihak Terkait pada akhir September 2025. Hilman mengingatkan bahwa konsultasi dengan dokter tetap diperlukan setelah menerima informasi awal dari AI. “AI mungkin mengatakan seorang pasien mengidap anemia parah, padahal setelah dicek ternyata hasilnya berbeda. Oleh karena itu, pendapat AI perlu diperjelas dan disempurnakan oleh dokter. Kita tidak pernah mengobati pasien hanya dengan bantuan AI,” ujarnya dalam acara ROICAM 2025 dengan topik Strategi Efektif Menghadapi Kanker: Membangun Kemitraan antara Tenaga Kesehatan dan Stakeholders pada akhir September 2025.
Semakin sering konsultasi dengan AI membuat pasien menghindari berkonsultasi langsung dengan dokter. Dalam hal penyakitkanker, Hilman menegaskan bahwa jika konsultasi langsung ditunda, maka pengobatan juga akan memakan waktu lebih lama. Kondisi ini akan semakin memburuk jika pasien menderita kanker. Hilman mengingatkan bahwa sel kanker dapat dengan cepat merusak tubuh jika tidak segera ditangani. “Yang diobati adalah manusia (bukan mesin), jadi tetap harus ditangani oleh orang yang ahli,” tambahnya.
Sebelumnya, data dari Kementerian Kesehatan dan Observatorium Kanker Global (Globocan) menunjukkan tren yang memprihatinkan. Tahun 2022 menjadi tahun terakhir dengan 408.661 kasus baru dan 242.099 kematian di Indonesia. Diperkirakan akan terjadi peningkatan sebesar 63 persen kasus baru antara tahun 2025 hingga 2040 jika tidak ada tindakan signifikan. Kemenkes juga memprediksi jumlah kasus akan meningkat lebih dari 70 persen pada tahun 2050 tanpa peningkatan pencegahan dan deteksi dini.
Rencana Nasional Kanker 2024–2034 mencerminkan komitmen serta strategi pemerintah dalam menghadapi tantangan pengendalian kanker. Pendekatan yang diambil meliputi pencegahan, promosi, pengobatan hingga perawatan suportif, serta menekankan keterpaduan antara penelitian dan pengelolaan sistem kesehatan. Hal ini sesuai dengan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia, sekaligus menunjukkan semakin kuatnya keinginan politik untuk mengatasi penyakit yang bersifat mengerikan ini.
Tentu saja terdapat berbagai tantangan yang dihadapi masyarakat dalam menghadapi kanker. Beberapa hambatan yang membuat kasus kanker cukup sulit dikendalikan adalah ketimpangan penerapan di berbagai wilayah. Masalah ini mencakup keterlambatan diagnosis akibat fasilitas layanan dan akses yang tidak merata, sehingga menyebabkan tingginya temuan kanker pada tahap lanjut saat diagnosis awal dilakukan. Hal ini semakin diperparah oleh kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya deteksi dini kanker.
Masalah lain yang dihadapi adalah biaya pengobatan kanker yang sangat tinggi dan tidak semua jenis terapi dapat ditanggung oleh sistem pembayaran yang tersedia saat ini. Belum lagi jumlah serta penyebaran tenaga kesehatan yang bergerak di bidang onkologi seperti konsultan hematologi onkologi medik (KHOM) masih terbatas, hanya sebanyak 188 dokter pada September 2025, dengan diperkirakan penambahan 150–250 orang dalam lima tahun ke depan. Berbagai hambatan ini berpotensi memperlebar kesenjangan antara strategi dan penerapannya di lapangan.











